Akhirnya, ada satu tulisan yang berhasil rampung dan ada akhir ceritanya =))
Ini baru potongan cerita bagian pertama. Silakan menikmati. Ditunggu komentarnya. Dan, mohon maklum, masih amatiran :D
Ini baru potongan cerita bagian pertama. Silakan menikmati. Ditunggu komentarnya. Dan, mohon maklum, masih amatiran :D
The Bend
Gemuruh mulai terdengar. Awan keabu-abuan terlihat bergerombol di langit.
Sinar matahari tak lagi tampak. Angin bertiup dengan kencang. Satu-persatu air
berjatuhan dari langit.
Aku berlari di bawah derasnya guyuran air hujan. Aku mengedar pandangan ke
sekitar, mencari tempat berteduh. Mataku tertuju pada sebatang pohon rindang
yang berdiri di sebuah tikungan.
Sesampainya di bawah naungan pohon, aku mengatur napas. Kemudian aku
memeriksa map yang aku bawa. Beruntunglah, kertas di dalamnya tidak basah. Aku
pun merogoh isi dalam tas. Masih aman dari rembesan air hujan.
Aku bersender di pohon itu. Aku mengamati jalan yang terbentang lurus di
depan. Rumah yang aku tinggali sekarang harusnya ada di ujung jalan itu.
Padahal tinggal beberapa meter saja. Tapi, tanpa payung, aku pasti sampai di
rumah dalam keadaan basah kuyup. Tidak, aku tak mau menerobos hujan begitu
saja. Apalagi membawa dokumen penting seperti ini.
Lima belas menit menanti, hujan akhirnya reda. Kini tinggal gerimis kecil
yang tersisa. Aku memulai perjalanan pulangku kembali.
Sampai di ujung jalan, aku mengetuk pagar rumah paling pojok. Seorang
pembantu wanita keluar. Bukan pembantu rumah yang aku kenal.
“Maaf, Mbak, betul ini rumah Pak Rahmat?”
“Bukan, Dik.”
“Betul ini Jalan Asri nomor 17?”
“Iya, betul. Tapi ini bukan rumah Pak Rahmat.”
“Kalau gitu, Mbak tahu rumah yang dulu dikontrak Pak Adi?”
“Wah, maaf, Dik. Saya baru sebulan di sini.”
Aku mengurungkan niat untuk bertanya kembali. Akhirnya, aku pamit,
berterima kasih, dan memohon maaf.
Tak tahu lagi aku harus berbuat apa. Pasalnya, ponselku baru mati tepat
setelah aku berteduh di bawah pohon. Di sekitar sini tak terlihat adanya pos
satpam. Jarang pula aku lihat pemukim yang berkeliaran. Sepi sekali.
Aku tak mungkin pulang ke rumah yang satu lagi. Rumah itu sedang dicat
ulang. Oleh sebab itu, aku dan Ibu harus tinggal di sini selama satu minggu.
Aku berkeliling. Mencoba mencari rumah yang sekiranya mempunyai nomor rumah
yang berakhiran angka tujuh. Aku yakin nomor rumahnya ada angka 7-nya. Tapi,
aku lupa berapa.
Setengah jam berkeliling, aku sampai kembali di tikungan tadi. Kali ini ada
seorang laki-laki seumurku berteduh di sana. Ia membawa sebuah tas. Aku yakin
sekali isi tas itu pasti biola. Tapi, aneh sekali. Hujan telah berhenti.
Mengapa justru baru berteduh sekarang?
Tanpa berpikir panjang, aku menghampirinya. Aku mau mencoba bertanya.
“Permisi, saya mencari rumah di Jalan Asri nomor 17. Kira-kira di sebelah
mana, ya?”
“Di ujung jalan ini.”
“Saya sudah tanya, tapi ternyata bukan rumah Pak Rahmat. Atau mungkin, tahu
rumah yang dulu dikontrak Pak Adi?”
Ia terdiam sejenak. Kemudian ia ingat sesuatu.
“Oh, Pak Rahmat yang dulu tinggal di sini yang rumahnya sempat dikontrak
Pak Adi? Itu di Jalan Asri nomor 17-A. Dari sini, lurus di jalan sana, lalu ada
belokan ke kanan, lalu belok ke kiri. Memang posisi rumahnya agak sulit. Di
sebelah kanan rumah nomor 17 yang arahnya membelakangi. Jadi, tertutup tembok
pembatas ujung jalan ini.”
Aku agak terkejut. Mendengar laki-laki ini memaparkan posisi rumahku yang
begitu detail, aku seperti teringat seseorang. Mungkin laki-laki ini dulu
tetanggaku.
Aku mengucapkan terima kasih kepadanya. Kemudian aku berjalan sesuai arah
yang diberitahukan laki-laki tadi.
Tanpa ragu, aku mengetuk pagar rumah. Bersyukurlah, kali ini seorang
pembantu wanita yang kukenal keluar dari rumah. Ia berkata bahwa Ibu agak cemas
karena aku belum pulang padahal sudah sore. Ibu khawatir aku tersesat. Apalagi
ponselku tidak bisa dihubungi. Aku hanya bisa nyengir saja.
Sayup-sayup aku mendengar ada dua orang wanita berbincang di ruang tamu.
Salah satunya Ibu. Menurut pembantu rumahku, seorang lagi adalah wanita yang
tinggal di dekat sini. Namun, sepertinya ia teman lama Ibu.
Aku memasuki rumah dengan perlahan. Mereka menghentikan pembicaraan mereka
dan langsung menatapku begitu aku masuk.
“Vin, salam dulu sama Tante Terry,” pinta Ibu.
“Jadi ini Ervina? Sudah gadis, ya?” Ia tersenyum.
“Sekarang kuliah di mana?” Tanyanya.
“Belum, Tante. Baru mau daftar di universitas musik.”
Ia terlihat sedikit terkejut. Raut wajahnya menggambarkan suatu
kebingungan. Kelihatannya ia ingin mengutarakan sesuatu, tetapi tertahan.
Sikapnya membuatku bingung. Kemudian ia mengalihkan pembicaraan. Menghilangkan
keanehan yang sempat terjadi.
Setelah cukup banyak ditanyai, aku pergi ke kamar. Menyelamatkan berkas
pendaftaran ke universitas yang aku simpan di map yang mulai basah karena air
hujan. Beruntung, berkas itu benar-benar “selamat”.
Seusai menyelamatkan berkas, aku turun dari tangga menuju dapur.
Sedikit-sedikit terdengar pembicaraan Tante Terry dengan Ibu. Aku mendengarnya
terisak dan menyebutkan nama Kevin. Kini berganti, Ibu yang terisak ketika
Tante Terry menanyakan seseorang bernama Karina. Aku agak penasaran. Tapi, aku
tak mau ikut campur. Aku pun berlalu menuju dapur.
lanjuuut :D *kepo
BalasHapushahaha iya nih. aku kelupaan aja mau masukin lanjutannya :p
BalasHapus