Momen Ramadan aku bisa dibilang sangat fluktuatif wkwk. Gimana sih maksudnya?
Sumber: Canva |
Waktu aku kecil, usia SD, aku tinggal di Kabupaten Bandung. Kegiatan selama Ramadan bagi anak kecil berkisar ikut sanlat (pesantren kilat) di sekolah, sanlat di masjid dekat rumah sambil mengincar takjil, lalu berburu tanda tangan Pak Ustaz (let alone shalat taraweh yang khusyuk dan tumakninah haha).
Pas lebaran, karena aku tinggal di komplek dengan warga heterogen, gak begitu rame suasananya. Paling cuma silaturahmi sama tetangga yang bener-bener deket. Nah, bagian selanjutnya yang seru.
Waktu itu sebagian besar sanak saudara masih hidup. Lokasi tempat tinggal mereka pun tersebar, satu kantong di wilayah Jabodetabek, satu kantong di wilayah Jawa Tengah, dan ada satu keluarga di Cirebon. Walhasil, kami cukup sering melakukan road trip di jalur Pantura.
Aku suka perayaan lebaran di desa. Lebih hidup, lebih rame. Ketemu saudara juga menyenangkan. Juga makan makanan yang jarang kutemui di kota. Tidak kulupakan, mendengarkan orang-orang berbicara bahasa Jawa. Sungguh, suasana ini yang aku nikmati.
Setelah aku SMA, keluargaku pindah ke komplek perumahan elit di kota yang berisi orang-orang individualis. Beberapa sanak saudara sudah berpulang. Lebaranku terasa hambar. Cuma salat di masjid, lalu pulang.
Lalu... Aku menikah dengan lelaki dari Trenggalek, Jawa Timur. Pertama kali aku menjalani Ramadan dan Idul Fitri di sana... (tarik napas panjang) it's like bringing back childhood memories :')
Aku jelasin poin-poin kegiatan selama Ramadan di lingkungan rumah mertuaku, ya!
Dimulai dengan Munggahan
Teman-teman pasti sudah cukup familiar dengan budaya ini. Bukan sekedar makan-makan sebelum memulai bulan Ramadan, munggahan di lingkungan trmpat tinggal mertua berupa saling berkirim berkat.
Berkat adalah bungkusan makanan lengkap berisi nasi, lauk pauk, dan cemilan (ala desa tentunya). Uniknya, meskipun makanan berkat itu sederhana, biasanya sesimpel mie goreng dan ayam, tapi rasanya luar biasa nikmat. Ibu mertua bilang sih, karena makanannya didoakan.
Yup, dulu sebelum zaman pandemi, berkat tidak langsung dikirim ke rumah-rumah, tetapi para lelaki diundang ke rumah dan diadakan acara berdoa bersama. Kemudian para lelaki ini pulang membawa berkat. Kini berkat hanya dikirim ke rumah-rumah tetangga sejak covid menyerang.
Hiasan Meriah Sepanjang Jalan
Bukan cuma tujuh belasan aja, di Kecamatan Durenan ini ada kegiatan menghias jalan dan rumah. Jangan ditanya gimana meriahnya, setiap 100 meter ada umbul-umbul melintang di atas jalan.
Setiap umbul-umbul dilengkapi kertas tisu warna-warni, pita jepang, hingga lampu LED. Wuih, kalau malam hari, rasanya seperti masuk ke dunia lain wkwk
Oh, ada juga bahkan yang pasang sound system di perempatan jalan. Dulu sih lagu yang diputernya kayak lagu Deen Assalam yang dibawakan grup Sabyan. Emang terniat ngehiasnya.
Kalau pingin tau kayak gimana fotonya (aku gak punya euy, entah filenya disimpen di mana), mending liat tulisannya mbak Risma Mualifah aja ya. Daripada nyolong gambar, mending ngasih backlink ya kan (sedang berusaha jadi bloger beradab 😉).
Lebaran Hari Pertama Biasa Saja
Yaak, biasa aja. Takbiran, shalat di masjid, salam-salaman sama tetangga yang ketemu di masjid. Udah deh pulang, makan. Nah, karena lebaran yanh sesungguhnya itu justru di hari ketujuh.
Ini baru lebaran yang terkenal sampai ke penjuru Jawa Timur. Lebaran ketupat ini rame parah, udah kayak ada karnaval. Uniknya ini cuma ada di Kecamatan Durenan, gak ada di kecamatan lainnya di Kabupaten Trenggalek.
Jalanan banyak yang ditutup. Orang-orang dari penjuru kabupaten hingga luar kota berbondong-bondong datang ke Kecamatan Durenan untuk mengunjungi rumah sanak saudara yang melakukan open house. Yak, setiap rumah menyediakan makanan dan jajanan bagi siapapun yang berkunjung. Tapi umumnya orang yang sudah dikenal sebelumnya.
Wah beneran pingin pulkam nih jadinya. Jadi, gimana lebaran teman-teman di kampung halaman?
Komentar
Posting Komentar