Ini foto profil Github milik suamiku. Sewaktu menyelesaikan thesisnya dulu, ia sering membuka repository Github-nya saat bekerja dari rumah. Setiap kali aku melihat halaman Github-nya terbuka di monitor, selalu ada perasaan aneh yang menyelinap ke dalam dadaku. Foto itu mengingatkanku pada penyesalan yang masih mengganjal.
Foto ini diambil di selasar Campus Center pada even Pasar Seni ITB 2014. Acara yang digelar saat aku duduk di tingkat tiga ini merupakan acara kampus paling meriah yang pernah aku kunjungi. Hampir di seluruh sudut kampus terdapat hal menarik yang bisa aku lihat.
Hari itu, aku mengunjugi Pasar Seni tidak sendirian. Aku bersama seorang "teman" lelaki yang sudah setahun hampir selalu pergi bersamaku ke mana pun aku pergi. Belum lama kami bahkan menyepakati panggilan sayang. Aku memanggilnya dengan panggilan "Kak" dan dia memanggilku dengan panggilan "Dik" meskipun kami sebetulnya seumuran.
Aku, lelaki ini, dan suamiku sama-sama mahasiswa STEI angkatan 2012 tetapi kami semua beda jurusan. Aku di jurusan Teknik Elektro, lelaki ini di jurusan Teknik Tenaga Listrik, sedangkan suamiku di jurusan Informatika. Kami kenal satu dengan lainnya karena sewaktu TPB pernah sekelas.
Sebetulnya, kami bukan hanya saling kenal. Sejak TPB, dua laki-laki ini memang getol menghubungiku lewat media sosial. Pada tahun 2014, beberapa bulan sebelum Pasar Seni ITB, aku baru tahu apa maksud mereka yang hobi sekali menge-ping di chat.
Lima bulan sebelum even Pasar Seni, saat liburan semester genap, suamiku membuat pengakuan mengejutkan. Melalui Facebook Messenger, ia mengatakan bahwa ia menyukaiku. Ia hanya ingin aku tahu perasaannya sebelum dia tidak bisa menyampaikannya lagi. Saat itu, aku tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Aku diamkan pesannya.
Pengakuannya cukup mengganggu pikiranku. Waktu itu aku galau. Aku tidak paham maksudnya apa dengan mengatakan itu. Mau mengajak pacaran atau gimana? Konyolnya, beberapa hari kemudian, aku malah bertemu dengan lelaki anak Teknik Tenaga Listrik itu di perpustakaan pusat dan menceritakan soal hal ini!
Tentu saja, dia tampak kesal. Dulu, dia bahkan bilang ingin memberi pelajaran buat suamiku yang membuatku jadi galau. Kalau sekarang aku pikir-pikir, wajar saja dia kesal. Saingannya sudah membuat pergerakan yang masif dengan menyatakan perasaan sedangkan dia sendiri harus masih bersabar mendekatiku dengan perlahan.
Dibanding dengan suamiku yang langsung menghilang setelah membuat pengakuan, lelaki ini selalu ada untukku. Dia mengajakku makan siang bareng, mengajarkanku mata kuliah rangkaian listrik yang kami ambil bersama, dan mendengarkan curhatanku. Hingga akhirnya beberapa saat sebelum kami datang di acara Pasar Seni, dia menyatakan keinginannya untuk melanjutkan hubungan kami ke arah yang serius.
Kini, saat aku memandang lagi foto suamiku di acara Pasar Seni 2014, aku berandai-andai. Mungkinkah dulu kami sempat berpapasan di antara lautan manusia? Apa jadinya jika dulu aku tahu bahwa jodohku adalah dia, bukan laki-laki yang menemaniku selama acara itu?
Bukan. Seandainya dulu aku langsung menanyakan apa maksud penyataan rasa suka yang suamiku sampaikan melalui messenger, apakah aku akan datang ke Pasar Seni bersamanya, bukan bersama laki-laki lain? Itulah yang aku sesalkan. Aku tidak bertanya.
Komentar
Posting Komentar