Akhir-akhir ini ada beberapa kejadian yang membuatku belajar untuk mengikhlaskan dalam tingkatan dan lingkup yang berbeda. Ada kejadian yang membuatku ikhlas cukup dalam waktu singkat, ada pula yang perlu waktu agak lama.
Pertama, akhir bulan Juli lalu, aku baru jatuh dari sepeda. Aku baru tahu, jatuh dari sepeda lebih menyiksa dibanding melahirkan karena aku tidak bisa memprediksi tingkat rasa sakitnya dan berapa lama waktu yang diperlukan tubuhku untuk kembali pulih. Cerita lengkap soal ini aku tulis di blog yang lain.
Waktu jatuh, wajah bagian kananku menghantam aspal. Setidaknya selama dua minggu aku mengalami sakit kepala secara terus-menerus yang kadang harus aku tangani dengan mengonsumsi ibuprofen.
Sesaat setelah jatuh, suamiku bilang, sekarang saatnya aku istirahat selama seminggu ke depan.
Sejujurnya, sebelum aku jatuh, aku sudah sering merasa lelah dengan rutinitas sebagai ibu rumah tangga. Istirahat seminggu bagaikan angin segar bagiku. Namun, ternyata tidak sepenuhnya seperti itu.
Ada saja hal yang dilakukan suami atau anak yang tidak sesuai dengan standarku, misalnya, suami tidak banyak menyediakan makanan untuk anak-anak yang berakibat mudah rewelnya mereka. Aku juga tidak bisa menyalahkan suamiku yang harus bekerja dari rumah sambil mengurus anak-anak dan istrinya yang sakit.
Di titik itu akhirnya aku menyadari, lebih baik aku tidak sakit dan bisa mengurus semua urusan rumah tangga. Aku belajar ikhlas menjalani peran sebagai istri dan ibu, karena lelah mengerjakan semua urusan itu jauh lebih baik ketimbang beristirahat dalam keadaan sakit dan menyaksikan suami kerepotan.
Kedua, sebagai orang yang suka mengabadikan pengalaman berharga lewat tulisan di blog, aku mendapat respon dan komentar yang beragam. Rupanya, masih belum mudah bagiku menerima komentar yang agak miring.
Aku beranggapan, apa yang aku tulis di blog adalah buah pikiranku dan ekspresi perasaanku, sehingga sah-sah saja jika aku menulis apa adanya seperti ini. Lagipula, menulis adalah jalan bagiku untuk melepaskan hal-hal yang terus menggelayuti pikiranku. Tujuanku menulis adalah untuk mencapai kelegaan.
Di sinilah aku belajar ikhlas bahwa aku tidak akan pernah bisa mengendalikan siapa yang membaca tulisan blogku dan apa respon mereka. Menulis adalah kebutuhanku untuk membahagiakan diri sendiri, bukan untuk memuaskan orang lain. Tentu saja, aku akan tetap belajar menulis dengan baik supaya tulisanku berkualitas.Terakhir, tepat tiga tahun yang lalu aku menginjakkan kaki di negri Paman Sam. Sejak saat itu, aku belum ada kesempatan untuk liburan ke tanah air. Namun, besok, suamiku akan pulang ke tanah kelahiran sendirian untuk menikmati liburan singkat selama satu bulan.
Aku dan anak-anak tetap berada di Chicago karena anak pertamaku sudah masuk sekolah. Kami tetap menganggap suamiku layak mendapat liburan seperti ini setelah dua tahun berjuang dengan proyek disertasinya yang sangat menguras pikiran dan kesabaran.
Tentu, aku sangat ingin pulang ke Indonesia. Aku rindu keluargaku, makanan enak, dan suasananya. Membayangkan pulang ke Indonesia saja sudah membuatku bahagia, apalagi kalau aku bisa mewujudkannya. Namun, kali ini, aku belajar mengikhlaskan keinginanku tertunda untuk sementara waktu.
Pada akhirnya, selama nyawa masih dikandung badan, ada saja episode dan topik pembelajaran yang selalu bisa dipetik dari kejadian sehari-hari. Kira-kira besok aku belajar apa lagi, ya?
Peluk teh Ilma ... syafakillah semoga segera pulih dan sehat kembali.
BalasHapusDuuuhhh ... pastinya kangen banget ya teh pingin pulkam. Mugi ada kesempatan terbaik untuk menikmati kembali suasana tanah air.
Salam semangat.