Aku berdiri mematung di depan kelas. Berusaha mencari jawaban, aku mencoba mengingat semua nama aktris, aktor, penyanyi, hingga komedian yang pernah aku lihat di televisi. Tidak ada satupun yang terasa spesial di hatiku.
"I don't have," jawabku polos.
Lucunya, guru pembimbing ekskul bahasa Inggris yang sedang mewawancaraiku justru mencoba menggali jawaban lebih dalam dengan menyebutkan beberapa nama artis yang tengah naik daun. Mendengar nama-nama itu, aku bisa mengingat wajahnya tapi aku tidak punya ketertarikan. Tidak ada penyanyi atau aktor favorit bagiku.
Saat duduk di bangku SMP, aku memang merasa berbeda dari teman-teman seusiaku. Kebanyakan dari mereka memiliki idola. Ada saja yang mengumpulkan berbagai pernak-pernik bergambar idola mereka hingga menulis dan menghafalkan lirik lagu yang dinyanyikannya. Aku pun menyaksikan betapa hebohnya mereka ketika mengetahui idola mereka akan menggelar konser.
Belum lagi ketika ada berita besar menyangkut idola mereka. Teman-temanku tampak begitu simpati atau marah. Seakan-akan mereka begitu mengenal idola mereka, padahal tidak berlaku sebaliknya. Bagiku, hal ini tidak masuk akal. Oleh karena itu, semua orang yang terkenal di luar sana tidak membuatku penasaran untuk mencari tahu lebih lanjut tentang kehidupannya.
Semua itu seakan berubah begitu saja hari ini. Aku tengah duduk di kursi penonton bersama dengan ratusan laki-laki dan perempuan paruh baya. Semua penonton menunjukkan wajah yang bahagia sekaligus bangga, berbeda denganku yang terus menerus mengalami ritme denyut jantung yang tidak beraturan.
Mendengar namanya dipanggil untuk naik ke atas panggung, seketika aku ingin berteriak memanggil namanya. Di saat orang lain bertepuk tangan dengan anggun, aku berdiri dari posisi duduk dan bertepuk tangan paling keras. Tak lupa aku bersiul layaknya memanggil burung dari kejauhan.
Melihatnya berdiri dan mendengar suaranya, tanpa terasa air mata mengalir di pipiku. Kudekapkan kedua tangan di dadaku dan kurasakan betapa cepatnya denyut jantungku. Mendadak semua memori tentangnya berputar di kepalaku.
Jika guru bahasa Inggris itu menanyakan kembali siapakah idolaku, aku akan menjawab dengan nama laki-laki muda ini. Tak lupa aku tunjukan semua fotonya sejak bayi hingga hampir dewasa, semua baju yang dikenakannya, barang favoritnya, dan kuceritakan semua momen yang ia sukai.
Kalau dulu aku menganggap konyol sikap teman-temanku yang begitu peduli dengan idolanya, kini aku tak ambil pusing. Ketika laki-laki ini sakit, aku sigap memberikan bantuan. Ketika ia sedih, hatiku pun ikut sedih. Intinya, siapapun yang ingin melukainya, silakan lewati mayatku dulu!
Laki-laki itu selesai membacakan pidatonya sebagai wisudawan terbaik. Di saat orang lain bertepuk tangan, kakiku memilih membawa badanku lari ke dekat tangga panggung. Pelukanku langsung berhamburan dengan laki-laki muda yang terkejut melihatku begitu heboh menyambutnya. Sorak penonton menjadi riuh melihat pemandangan ini.
Dia idolaku, bayi kecil yang dulu pernah singgah dalam rahimku dan kini menjadi laki-laki dewasa yang membanggakan.
Teh Ilma ... ih terharu aku bacanya.
BalasHapusAnak2 adalah idola paling membanggakan bagi orangtuanya.
Iya, teh. Setuju sekali ❤️
Hapus