Ada satu masa dalam hidupku ketika aku begitu jijik melihat tempe. Ada satu kejadian tak termaafkan yang aku alami berkaitan dengan tempe.
Waktu itu usiaku sekitar 12 tahun. Keluargaku baru pulang dari Cepu, Jawa Timur setelah menjemput nenekku yang ingin menginap di rumah kami di Bandung. Malam itu kami mampir ke sebuah restoran sunda.
Kami memesan berbagai masakan, seperti nasi timbel, ikan goreng, ayam goreng, tempe mendoan, lengkap dengan sambal dan lalapan. Sepiring nasi timbel sampai di depanku. Buru-buru aku buka bungkusan nasi di dalam daun pisang. Aroma uap nasi hangat bercampur wangi daun pisang menguar di udara.
Jemariku mengerucutkan nasi dan memasukkannya ke mulut beserta satu suwiran ayam. Melihat Mama yang asyik makan dengan mencolekkan potongan ikan goreng ke sambal, aku terdorong untuk mengikutinya. Kali ini suwiran ayam itu aku cocolkan ke sambal sebelum aku lahap dengan nasi.
Sambil mengunyah, aku mulai menyusun strategi makanan mana selanjutnya yang aku santap dari piringku. Di sana, tertata rapi ayam goreng, tempe goreng, tahu goreng, sambal, mentimun mentah dan selada. Tempe goreng itu tampak menggoda. Jadi, aku potong sedikit tempe goreng, mencelupkannya ke sambal, lalu aku makan bersama nasi.
Tiga kali kukunyah. Tempet beserta nasi itu mulai bercampur dengan liurku sehingga rasanya menyebar di lidah. Tiba-tiba saja rasa pahit memenuhi mulutku. Kemudian disusul dengan rasa asam.
"Mah, ini tempenya aneh," protesku sambil tetap membiarkan tempe setengah dikunyah itu di dalam mulutku.
"Kenapa?" Bisik Mama.
"Pait! Nih Mama liat," ucapku masih dengan mulut penuh sambil menyodorkan tempe yang sudah kupotong.
"Oh, ini tua tempenya. Buang aja kalau gak mau dimakan."
Aku bangkit dari kursi. Lalu aku berjalan dua puluh meter. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari papan petunjuk toilet. Rupanya aku masih harus menuruni tangga, menaiki tangga, melewati kolam ikan, hingga aku sampai di sisi lain gedung restoran ini.
Aku dorong pintu toilet dan segera kumuntahkan isi di dalam mulutku ke dalam toilet. Mendadak aku merasa mual juga hingga aku terdorong untuk mengeluarkan suara "hoek".
"Ihh. Mbak Ilma muntah!" Teriak adikku yang ternyata sejak tadi mengikutiku tanpa kusadari.
"Enggak! Aku cuma ngelepeh!" Balasku kepada angin. Dia keburu pergi.
Sejak saat itu, adikku sering mengejekku kalau Mama masak tempe di rumah. Dia selalu meledekku makan tempe basi sampai muntah padahal aku tidak sampai memuntahkan isi perut.
Butuh waktu lama sampai akhirnya aku mau mencoba makan tempe lagi. Setelah aku menikah dan tinggal di rumah mertua, aku baru tahu ada jenis tempe yang betulan busuk dan aman dimakan. Ibu mertua menyebutnya tempe bosok.
Warna tempe itu memang lebih coklat ketimbang tempe biasa, bahkan berwarna sedikit kehitaman. Rasanya juga mirip-mirip tempe jelek yang aku makan di restoran itu. Namun, ibu mertua bisa mengolah tempe bosok menjadi santapan yang lezat, mulai dari sambal tempe hingga sayur tempe berkuah santan.
Kini aku tidak lagi membenci tempe. Ditambah lagi, kini aku tinggal di luar negeri. Tempe menjadi salah satu panganan Indonesia yang aku rindukan. Beberapa supermartket di sini menjual tempe buatan Amerika, tapi rasanya berbeda. Pasalnya, ada penambahan bahan lain seperti beras dan biji-bijian. Pada akhirnya, rasa tempe buatan sini sedikit pahit.
Makin tua dan banyak rasa makanan yang kucoba, aku mulai bisa menikmati rasa tempe yang beragam. Tempe segar goreng terasa gurih menggoyang lidah. Namun, sambel tempe bosok juga tidak kalah nikmatnya. Mendoan yang dibuat dengan tempe buatan Amerika pun tetap terasa enak meskipun tidak begitu gurih dan sedikit pahit.
Tulisan ini aku buat dengan mengesampingkan rasa maluku karena masa iya aku pernah bermental tempe gara-gara tempe?
Komentar
Posting Komentar