Kami hidup baik-baik saja, kok!
"Mamaaa, habis ini kentangnya diapain?" pekik Rizki.
"Diberi perhatian, Nak," balas Mira dengan wajah sok bijak.
"Ye, Mama single jadi begitu." Bibir Rizki dibuat monyong.
"Oh, terus kamu mau kita ulek kentang ini dengan kekuatan penuh? Ya? Ya?! Nih!" Mira mengambil ulekan dan mulai menumbuk, mengulek, dan menghajar kentang kukus di dalam baskom.
"Ma .... Jangaan!"
Pyek! Baskom itu bolong. Kedua ibu dan anak itu saling pandang.
"Kapan jadinya ini bubur candil?" batin Zidan, adik Rizki, yang sedari tadi memperhatikan kelakuan kakak dan ibunya dari balik tembok.
Zidan membereskan hasil kekacauan yang dibuat kakak dan ibunya sedangkan Mira kini mengulen adonan kentang kukus.
"Ambilin tepung tapioka, Ki," pinta Mira.
Rizki berjalan ke lemari penyimpanan. Ketika ia membuka pintunya, ia tercengang.
"Ebuset, semuanya jar kaca isinya serbuk putih semua?! Mana yang tepung tapioka?" batin Rizki.
"Ini Ma!" seru Rizki sambil menyodorkan satu toples kaca.
"Ini garam, Ki," ucap Mira santai sambil terus mengulen adonan tanpa melihat toples kaca itu.
"Hah? Kok bisa tau, Ma? Aku aja gak tau!"
"Hadeh .... Ini anak hidup tahun berapa? Minggir. Siri! Tepung Tapioka!" teriak Mira.
Ting! Tiba-tiba ada lampu LED berwarna hijau bersinar pada salah satu toples kaca di dalam lemari. Sekali lagi, Rizki tercengang.
Setelah mengulen adonan kentang kukus yang dicampur tepung tapioka, sedikit gula, garam, dan vanili, kini Mira beserta kedua anaknya membuat bola-bola adonan.
"Ma, sejak pindah ke sini, kita gak pernah telpon Papa. Memangnya Papa sesibuk itu, ya?" tanya Zidan.
"Yah, begitulah ..."
Ingatan Mira kembali ke sepuluh tahun yang lalu. Kala itu ia kabur membawa kedua anaknya. Mira membangun hidup baru di sebuah kota kecil di Indonesia tanpa bayang-bayang suaminya yang kerap menyakiti anak-anaknya dengan alasan untuk mendisiplinkan. Mira tidak tahan lagi ketika suaminya dulu menorehkan luka dalam yang berujung infeksi di lengan Rizki.
Saat itu Mira langsung membawa Rizki ke rumah sakit di sebuah kota di Inggris, tempat tinggal mereka saat itu. Di pelataran rumah sakit, Mira hanya ditemani Zidan. Suaminya tetap sibuk bekerja. Saat itu, tanpa berpikir lebih lama lagi, Mira memesan tiket pulang ke Indonesia. Besoknya, ia meninggalkan apartemen tempat mereka tinggal dengan sepucuk surat. Sebuah permintaan maaf karena tidak sanggup lagi hidup bersama sang suami.
"Tapi, aku pernah ketemu Papa," ucap Zidan.
"Di mana?" tanya Rizki penasaran.
"Di sekolah, aku baru pulang terus ada laki-laki nyamperin. Katanya namanya Fajar, Papanya Zidan."
"Kan udah Mama bilang, gak boleh ngomong sama orang asing. Kalau diculik gimana?" tanya Mira khawatir.
"Ma, aku udah 14 tahun. Lagipula aku minta Iqbal dan Rusli tetep nemenin aku. Aku bilang ke mereka, kalau laki-laki itu keliatan mau nyulik aku, kalian langsung hajar aja!" cerita Zidan penuh semangat.
"Oh, itu Rusli sama Iqbal yang sabuk hitam karate? Pinter juga kamu," puji Mira.
Semua adonan sudah berubah menjadi bola-bola. Mira merebus air bersama gula merah dan daun pandan. Ketika airnya mendidih, Mira memasukkan bola-bola itu ke dalam air gula dan memasaknya hingga mengapung. Lalu Mira membuat larutan air dicampur tepung tapioka. Ia memasukkan larutan itu ke dalam air gula dan bola-bola candil.
"Yey, beres!" seru Zidan.
"Belum. Kuah santannya belum selesai," tukas Mira.
Mira merebus air dan santan kemasan. Setelah mendidih, Mira mencampur larutan air dan tepung tapioka ke dalamnya.
"Jadi!" Kini Rizki yang berseru.
"Tapi gak bisa langsung dimakan," kata Mira.
"Kenapa?" Zidan bertanya polos.
"Lho, kamu gak tau ritual memakan bubur candil?" Mira berusaha memasang wajah serius.
"Kamu harus menggoyang pinggul dulu sepuluh kali, salto lima kali, berdzikir, dan berinfak kepada fakir miskin. Baru bisa dimakan candilnya," jelas Mira.
"Yaelah, nunggu bubur dingin aja segitu ribetnya," tukas Rizki.
Sejam kemudian mereka mulai menyantap bubur candil.
"Kalian suka tinggal di sini?" tanya Mira.
"Suka." Kedua anak itu mengangguk.
"Kangen Papa?" tanya Mira.
Kedua anak itu saling bertatapan. Mereka lalu menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Kita bertiga aja cukup, Ma," ucap Rizki.
Mira tersenyum. Ia lalu menatap bubur candil itu. Beruntung tadi ia tidak lupa memasukkan ramuan "Melupakan Ayah" ke dalamnya. Berhubung kali ini ia memasak bersama anak-anak, ia harus memasukkannya secara sembunyi-sembunyi.
Komentar
Posting Komentar