Kita nggak harus ketemu psikolog buat mengatasi trauma. Pasalnya, aku yakin semua orang di dunia ini pasti pernah punya trauma, sekecil apapun itu. Tapi, gak semua orang di dunia ini pernah konsultasi ke psikolog, kan?
Menurut Hellosehat, trauma adalah kondisi yang terjadi akibat persitiwa buruk yang menimpa seseorang. Sekarang, adakah seorang manusia yang berjalan di muka bumi tanpa mengalami hal buruk sepanjang hidupnya? Gak ada. Yang membedakan hanya bagaimana cara orang itu bereaksi terhadap persitiwa yang terjadi.
Ada orang sekali ke dokter gigi, dokternya galak dan kasar. Kapok, gak mau lagi periksain kesehatan gigi. Atau misalnya, ada orang pertama kali pergi ke pesta ulang tahun anak orang kaya. Saltum dan dinyinyirin semua orang. Trauma, gak mau lagi pergi ke pesta.
Alasan trauma bisa sepele. Balik lagi ke pribadi orang yang mengalami peristiwa itu, akan terguncang atau merasa biasa-biasa saja? Kalaupun sampai trauma, kembali lagi, apakah orang itu bisa berdamai dengannya atau malah sama-sama merangkai bom waktu?
Nah, aku tipe yang percaya self healing. Aku udah pernah konsul sama psikolog mengenai trauma yang aku miliki. Namun, aku merasa tidak cocok. Selain karena cara pandang psikolog yang aku temui terlalu fokus pada masalah yang aku alami saat itu (bukan akarnya), juga karena terapinya yang menurutku terlalu banyak menghabiskan waktu.
Kalau kamu juga percaya dengan kemampuan tubuh dan pikiran kita untuk menyembuhkan diri sendiri, bisa coba empat caraku dalam mengatasi trauma.
1. Menenangkan diri
Ibaratnya, kewarasan jiwa seperti botol kaca dengan mulut kecil berisi pasir. Peristiwa buruk menumpakan pasir di dalamnya. Tiba-tiba sebagiannya kosong. Ada rasa panik, takut, dan cemas. Untuk mengisi botol kaca kembali, tentu kita harus sabar menuangkan pasir ke dalamnya sedikit demi sedikit.
Tahap pertama dengan menangkan diri. Bernafas teratur. Beribadah. Berdzikir. Atau sekedar duduk dan melemaskan ketegangan otot. Tidak harus langsung mencerna semua peristiwa buruk itu.
Ini juga berlaku untuk trauma yang sudah lama terjadi. Kadang ada sesuatu yang memicu trauma untuk muncul. Aku biasanya mencoba menenangkan diri dulu untuk mencegah diri ini tenggelam lebih jauh hingga menyebabkan munculnya sikap yang tidak wajar.
2. Mengumpulkan hal positif
Tahap ini kita sudah mulai membahas peristiwa yang terjadi dan mencoba menerimanya. Misal, terjadi kecelakaan. Kita bisa memulai dengan bersyukur kecelakaan itu tidak merenggut nyawa kita.
Kita cari seribu satu alasan atau hal positif kenapa kita perlu menerima hal buruk itu. Kalau dirasa susah, kita bisa minta bantuan teman atau keluarga yang dipercaya dan punya cara pandang yang positif untuk memberi masukan.
3. Menyibukkan diri
Biasanya pikiran negatif atau sekelebat kenangan yang memicu trauma muncul ketika pikiran sedang kosong. Itu sebabnya sebaiknya kita penuhi pikiran dengan kesibukan yang bermanfaat dan produktif.
Aku biasanya memulai dengan aktif menekuni hobi, salah satunya blogging. Banyak yang bilang, writing is for healing. Tapi biasanya kalau kejadiannya belum semuanya diberesin, aku belum bisa nulis di ranah publik karena yaa, takut diungkit-ungkit dan memunculkan trauma.
Aku juga mengikuti komunitas hobi. Tapi, grup yang aku ikuti juga pilih-pilih. Cuma yang vibes-nya positif. Kalau banyak ujaran kebencian, tidak saling support, mending leave aja.
4. Membiarkan waktu bekerja
Sebab, seiring berjalannya waktu, trauma bisa pulih sedikit demi sedikit. Usaha kita untuk berusaha mengikis trauma tentu akan memberikan hasil. Tentu saja, Tangan Tuhan bekerja di sana. Kita tidak punya daya dan upaya lebih besar dari-Nya untuk menghapus trauma.
Kamu punya tips lainnya? Boleh dong, kasih tau di kolom komentar :D
Komentar
Posting Komentar